Salah satu tuntutan pada awal reformasi adalah persoalan yang berkaitan
dengan kebijakan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah
Seperti
yang diketahui, Indonesia berbentuk negara kesatuan dan hal ini telah
dituangkan dalam UUD 1945 pasal 1 ayat 1 yang berbunyi “Negara Indonesia ialah
negara kesatuan yang berbentuk Republik”. Sebagai negara kesatuan, hanya ada
satu pemerintah yaitu pemerintah pusat yang memiliki wewenang tertinggi akan
kekuasaan negara, menetapkan kebijakan-kebijakan pemerintahan dan melaksanakan
pemerintahan baik di lingkup pusat maupun daerah. Meskipun pemerintah pusat
memiliki kewenangan tertinggi, bukan berarti segala urusan langsung ditangani
oleh pemerintah pusat. Pemerintah pusat dapat melimpahkan wewenang tersebut
kepada pemerintah daerah yang kemudian disebut dengan desentralisasi. Menurut UU
nomor 22 tahun 1999 pasal 1, desentralisasi adalah penyerahan wewenang
pemerintah oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan menurut Rondinelli dan Cheema,
desentralisasi memiliki pengertian sebagai transfer perencanaan, pengambilan
keputusan, atau otoritas administratif dari pemerintah pusat kepada
organisasinya di lapangan, unit-unit administrasi lokal, organisasi semi-otonom
dan organisasi parastatal (organisasi multinasional), pemerintahan lokal, atau
organisasi non pemerintah.
Rabu, September 24, 2014
OBLIGASI DAERAH SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN DALAM DESENTRALISASI FISKAL
Secara
umum, desentralisasi bukan hanya mencakup satu aspek tetapi juga dari berbagai
aspek. Salah satu aspek atau komponen utama dalam desentralisasi adalah
desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal memungkinkan pemerintah daerah
melaksanakan fungsinya secara efektif dan bebas dalam mengambil suatu keputusan
pengeluaran di sektor publik. Oleh karena itu, pemerintah daerah harus mendapat
dukungan sumber-sumber keuangan yang cukup baik yang berasal dari Pendapatan
Asli Daerah (PAD), Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, Pinjaman, maupun Subsidi
atau bantuan dari pemerintah pusat. Desentralisasi fiskal akan berjalan dengan
baik apabila didukung dengan pengawasan
dari pemerintah pusat dan sumber daya manusia yang mumpuni di lingkungan
pemerintah daerah serta kejelasan dalam pembagian tanggung jawab dan kewenangan
dalam memungut pajak dan retribusi daerah.
Desentralisasi
merupakan suatu sistem yang tidak terlepas dari otonomi daerah. Otonomi daerah
membuat pemerintah daerah dapat mengatur dengan bebas daerahnya sesuai dengan arahan
dan kebijakan dari pemerintah pusat. Kebijakan ini, menurut undang-undang nomor
32 tahun 2004, bertujuan untuk memacu perataan pembangunan dan hasil-hasilnya,
meningkatkan kesejahteraan rakyat, menggalakkan prakarsa dan peran aktif
masyarakat secara nyata, dinamis dan bertanggung jawab sehingga memperkuat
persatuan dan kesatuan bangsa. Selain mengurangi beban pemerintah pusat, campur
tangan daerah yang dilakukan akan memberi peluang untuk koordinasi tingkat
lokal. Kebijakan ini sangat bersinergi dengan undang-undang nomor 25 tahun 1999
dan undang-undang nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pusat
dan daerah yang akhirnya menimbulkan pemerataan hasil-hasil pembangunan secara
adil dan menyeluruh dengan menggunakan sumber daya potensial di daerahnya
masing-masing.
Otonomi
daerah yang secara tersirat menggambarkan kemandirian pemerintah daerah tetap
bergantung pada kemampuan pemerintah daerah tersebut dalam bekerjasama dan bernegosiasi
dengan pihak-pihak lain baik dari pihak swasta dalam negeri dan luar negeri
serta pemerintah daerah lain maupun pemerintah pusat. Dalam realitanya,
pemerintah daerah masih sangat bergantung kepada pemerintah pusat terutama dana
perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil dan Dana
Alokasi Khusus (DAK). Hal ini dibuktikan dengan cukup tingginya prosentase
penerimaan daerah pada APBD dari dana perimbangan yaitu mencapai 60%. Sementara belanja pegawai, barang dan jasa
mencapai 75% serta kurang dari 20% digunakan untuk belanja modal. Dengan dana
yang kurang dari 20% pada APBD tidak memungkinkan bagi pemerintah daerah untuk
menjadikan belanja daerah sebagai pemicu pembangunan daerah melalui infrastruktur.
Dengan kata lain, Pemerintah daerah mengalami dilemma karena di satu sisi
mengalami keterbatasan dana dan di sisi yang lain aset tetap merupakan hal yang
sangat dibutuhkan dalam kondisi Indonesia saat ini. Untuk menghadapi dilemma
tersebut, terdapat salah satu alternatif yaitu melalui penerbitan obligasi
daerah.
Penerbitan
obligasi daerah ini didasarkan pada undang-undang nomor 22 tahun 1999 pasal 79 yang memberi
kuasa daerah untuk melakukan pinjaman daerah. Selain itu, undang-undang nomor
25 tahun 1999 pasal 11 dan 12 mengijinkan pemerintah untuk menggunakan beberapa
instrumen keuangan dalam mencari pinjaman. Menurut Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.07/2006, obligasi daerah merupakan pinjaman daerah yang ditawarkan kepada
publik melalui penawaran umum di pasar modal. Obligasi Daerah hanya dapat diterbitkan di pasar
modal domestik dan dalam satuan mata uang rupiah. Peraturan menteri keuangan yang diambil
dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun
2005 tentang pinjaman
daerah tersebut menetapkan
tatacara penerbitan,
pertanggungjawaban, dan publikasi informasi obligasi daerah. Tujuan
penerbitan obligasi daerah adalah membiayai kegiatan investasi aset tetap
sektor publik, bukan untuk menutup kekurangan kas daerah. Dana dari penerbitan
obligasi daerah harus digunakan untuk proyek yang menghasilkan manfaat disertai
dengan perencanaan yang matang. Meskipun demikian, obligasi ini tidak
mendapatkan jaminan dari pemerintah pusat dan segala resiko dari obligasi
daerah ini akan ditanggung oleh pemerintah daerah yang menerbitkan obligasi
daerah tersebut.
Terdapat
dua kemungkinan dalam pembiayaan ini yaitu dengan mengeluarkan Municipal Bond yang dikeluarkan langsung
oleh pemerintah daerah yang berupa obligasi umum (General Bond) dan dijamin langsung oleh pemerintah daerah. Kedua
adalah obligasi penghasilan (Revenue Bond)
yang dikeluarkan untuk membiayai proyek-proyek secara langsung dan dijamin oleh
proyek yang didanai seperti perhotelan, pariwisata, dan pusat-pusat bisnis yang
lainnya. Setidaknya, ada dua unsur utama yang perlu diperhatikan dalam
penerbitan obligasi daerah. Unsur pertama berkaitan dengan kapasitas fiskal
yang membuat pemerintah daerah harus mendapat persetujuan dahulu dari menteri
keuangan. Kapasitas fiskal yang dimaksud harus memenuhi syarat berikut ini :
1. Jumlah sisa pinjaman daerah ditambah
jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak melebihi 75 persen dari jumlah
penerimaan umum APBD tahun sebelumnya;
2. Rasio proyeksi kemampuan keuangan
daerah untuk mengembalikan pinjaman (Debt Service Coverage Ratio/DSCR)
paling sedikit 2,5;
3. Tidak mempunyai tunggakan atas
pengembalian pinjaman yang berasal dari Pemerintah; dan
4. Mendapatkan persetujuan DPRD.
Sedangkan
unsur yang kedua adalah penawaran umum obligasi daerah yang dilakukan di pasar
modal. Berbeda dengan unsur yang pertama, pemerintah daerah yang hendak
menerbitkan obligasi daerah harus menyatakan pendaftaran kepada Bapepam-LK
sehingga dapat dicatat di bursa efek. Dengan terdaftarnya obligasi daerah dalam
bursa efek maka peluang bagi keterlibatan banyak pihak dalam memberikan
pinjaman akan semakin besar termasuk dari pihak asing.
Obligasi
daerah memiliki keunggulan kompetitif yaitu merupakan instrumen investasi yang
beresiko rendah sehingga dapat menarik investor yang menyukai risk averse. Selain itu, obligasi daerah
tidak mengenakan pajak pendapatan bunga bagi investor sebagai insentif dari
teori investasi risk linier atau teori yang berbanding sama. Penerbitan
obligasi daerah ini juga tidak memerlukan biaya yang terlalu besar seperti pinjaman
ke luar negeri atau menjual aset negara yang sedang populer sekarang ini.
Selain itu, organisasi sektor publik akan terakuntabilitas karena mendapat
pengawasan secara langsung dari seluruh stakeholder. Obligasi daerah merupakan
sumber pembiayaan potensial untuk membiayai pengeluaran termasuk
merestrukturisasi bagian dari privatisasi BUMD yang kondisinya sudah tidak
layak.
Meskipun
memiliki beberapa keunggulan, bukan berarti penerbitan obligasi daerah tidak
memiliki tantangan dan hambatan. Tantangan dan hambatan yang dihadapi dalam
penerbitan obligasi daerah adalah ketersediaan sumber daya manusia yang
berkualitas. Di Indonesia, populasi sumber daya manusia mencapai angka
tertinggi ke empat setelah China, India, dan Amerika Serikat. Akan tetapi,
tidak semua sumber daya manusia di Indonesia memiliki skill yang mumpuni. Oleh
karena itu, diperlukan perbaikan yang terus-menerus di bidang ilmu pengetahuan. Selain itu, proyek yang
harus dibiayai melalui penerbitan obligasi harus merupakan proyek yang dapat memberikan
multiplier effect kepada pembangunan
daerah secara keseluruhan. Tantangan dan hambatan lain dari penerbitan obligasi
adalah tuntutan terhadap pemerintah daerah untuk jujur dan bertanggung jawab
baik dalam pelaksanaan proyek yang dibiayai obligasi daerah maupun pembayaran
obligasi yang akan jatuh tempo. Pemerintah daerah juga dituntut untuk
memperjelas sistem birokrasi dan mengefisiensikan pemanfaatan waktu serta
biaya.
Obligasi
daerah yang diterapkan dalam sistem desentralisasi fiskal dapat dikatakan
sebagai hal yang baru dan juga sebagai alternatif pembiayaan yang memiliki
beberapa kelebihan dibandingkan dengan pembiayan-pembiayaan yang lain. Obligasi
daerah juga memiliki beberapa hambatan dan tantangan dalam pelaksanaannya. Dengan
demikian, perlu dilakukan tindakan
menyeluruh dan kontinu agar tujuan dasar dari penerbitan obligasi daerah dapat
tercapai. Melalui perbaikan yang konsisten maka reformasi sektor publik dalam
mewujudkan Good Governance akan
tercapai melalui desentralisasi fiskal, otonomi daerah dan obligasi daerah.
Siti Rodiah
Hasana
115020300111066
Akuntansi 2011
0 comments:
Posting Komentar