Rabu, September 24, 2014

OBLIGASI DAERAH SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN DALAM DESENTRALISASI FISKAL

Salah satu tuntutan pada awal reformasi adalah persoalan yang berkaitan dengan kebijakan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah
            Seperti yang diketahui, Indonesia berbentuk negara kesatuan dan hal ini telah dituangkan dalam UUD 1945 pasal 1 ayat 1 yang berbunyi “Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk Republik”. Sebagai negara kesatuan, hanya ada satu pemerintah yaitu pemerintah pusat yang memiliki wewenang tertinggi akan kekuasaan negara, menetapkan kebijakan-kebijakan pemerintahan dan melaksanakan pemerintahan baik di lingkup pusat maupun daerah. Meskipun pemerintah pusat memiliki kewenangan tertinggi, bukan berarti segala urusan langsung ditangani oleh pemerintah pusat. Pemerintah pusat dapat melimpahkan wewenang tersebut kepada pemerintah daerah yang kemudian disebut dengan desentralisasi. Menurut UU nomor 22 tahun 1999 pasal 1, desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan menurut Rondinelli dan Cheema, desentralisasi memiliki pengertian sebagai transfer perencanaan, pengambilan keputusan, atau otoritas administratif dari pemerintah pusat kepada organisasinya di lapangan, unit-unit administrasi lokal, organisasi semi-otonom dan organisasi parastatal (organisasi multinasional), pemerintahan lokal, atau organisasi non pemerintah.

Secara umum, desentralisasi bukan hanya mencakup satu aspek tetapi juga dari berbagai aspek. Salah satu aspek atau komponen utama dalam desentralisasi adalah desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal memungkinkan pemerintah daerah melaksanakan fungsinya secara efektif dan bebas dalam mengambil suatu keputusan pengeluaran di sektor publik. Oleh karena itu, pemerintah daerah harus mendapat dukungan sumber-sumber keuangan yang cukup baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, Pinjaman, maupun Subsidi atau bantuan dari pemerintah pusat. Desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik apabila  didukung dengan pengawasan dari pemerintah pusat dan sumber daya manusia yang mumpuni di lingkungan pemerintah daerah serta kejelasan dalam pembagian tanggung jawab dan kewenangan dalam memungut pajak dan retribusi daerah.
Desentralisasi merupakan suatu sistem yang tidak terlepas dari otonomi daerah. Otonomi daerah membuat pemerintah daerah dapat mengatur dengan bebas daerahnya sesuai dengan arahan dan kebijakan dari pemerintah pusat. Kebijakan ini, menurut undang-undang nomor 32 tahun 2004, bertujuan untuk memacu perataan pembangunan dan hasil-hasilnya, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menggalakkan prakarsa dan peran aktif masyarakat secara nyata, dinamis dan bertanggung jawab sehingga memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Selain mengurangi beban pemerintah pusat, campur tangan daerah yang dilakukan akan memberi peluang untuk koordinasi tingkat lokal. Kebijakan ini sangat bersinergi dengan undang-undang nomor 25 tahun 1999 dan undang-undang nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang akhirnya menimbulkan pemerataan hasil-hasil pembangunan secara adil dan menyeluruh dengan menggunakan sumber daya potensial di daerahnya masing-masing.  
Otonomi daerah yang secara tersirat menggambarkan kemandirian pemerintah daerah tetap bergantung pada kemampuan pemerintah daerah tersebut dalam bekerjasama dan bernegosiasi dengan pihak-pihak lain baik dari pihak swasta dalam negeri dan luar negeri serta pemerintah daerah lain maupun pemerintah pusat. Dalam realitanya, pemerintah daerah masih sangat bergantung kepada pemerintah pusat terutama dana perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Hal ini dibuktikan dengan cukup tingginya prosentase penerimaan daerah pada APBD dari dana perimbangan yaitu mencapai 60%.  Sementara belanja pegawai, barang dan jasa mencapai 75% serta kurang dari 20% digunakan untuk belanja modal. Dengan dana yang kurang dari 20% pada APBD tidak memungkinkan bagi pemerintah daerah untuk menjadikan belanja daerah sebagai pemicu pembangunan daerah melalui infrastruktur. Dengan kata lain, Pemerintah daerah mengalami dilemma karena di satu sisi mengalami keterbatasan dana dan di sisi yang lain aset tetap merupakan hal yang sangat dibutuhkan dalam kondisi Indonesia saat ini. Untuk menghadapi dilemma tersebut, terdapat salah satu alternatif yaitu melalui penerbitan obligasi daerah.
Penerbitan obligasi daerah ini didasarkan pada undang-undang  nomor 22 tahun 1999 pasal 79 yang memberi kuasa daerah untuk melakukan pinjaman daerah. Selain itu, undang-undang nomor 25 tahun 1999 pasal 11 dan 12 mengijinkan pemerintah untuk menggunakan beberapa instrumen keuangan dalam mencari pinjaman. Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.07/2006, obligasi daerah merupakan pinjaman daerah yang ditawarkan kepada publik melalui penawaran umum di pasar modal. Obligasi Daerah hanya dapat diterbitkan di pasar modal domestik dan dalam satuan mata uang rupiah. Peraturan menteri keuangan yang diambil dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang pinjaman daerah tersebut menetapkan tatacara penerbitan, pertanggungjawaban, dan publikasi informasi obligasi daerah.  Tujuan penerbitan obligasi daerah adalah membiayai kegiatan investasi aset tetap sektor publik, bukan untuk menutup kekurangan kas daerah. Dana dari penerbitan obligasi daerah harus digunakan untuk proyek yang menghasilkan manfaat disertai dengan perencanaan yang matang. Meskipun demikian, obligasi ini tidak mendapatkan jaminan dari pemerintah pusat dan segala resiko dari obligasi daerah ini akan ditanggung oleh pemerintah daerah yang menerbitkan obligasi daerah tersebut.
Terdapat dua kemungkinan dalam pembiayaan ini yaitu dengan mengeluarkan Municipal Bond yang dikeluarkan langsung oleh pemerintah daerah yang berupa obligasi umum (General Bond) dan dijamin langsung oleh pemerintah daerah. Kedua adalah obligasi penghasilan (Revenue Bond) yang dikeluarkan untuk membiayai proyek-proyek secara langsung dan dijamin oleh proyek yang didanai seperti perhotelan, pariwisata, dan pusat-pusat bisnis yang lainnya. Setidaknya, ada dua unsur utama yang perlu diperhatikan dalam penerbitan obligasi daerah. Unsur pertama berkaitan dengan kapasitas fiskal yang membuat pemerintah daerah harus mendapat persetujuan dahulu dari menteri keuangan. Kapasitas fiskal yang dimaksud harus memenuhi syarat berikut ini :
1.    Jumlah sisa pinjaman daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak melebihi 75 persen dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya;
2.    Rasio proyeksi kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman (Debt Service Coverage Ratio/DSCR) paling sedikit 2,5;
3.    Tidak mempunyai tunggakan atas pengembalian pinjaman yang berasal dari Pemerintah; dan
4.    Mendapatkan persetujuan DPRD.

Sedangkan unsur yang kedua adalah penawaran umum obligasi daerah yang dilakukan di pasar modal. Berbeda dengan unsur yang pertama, pemerintah daerah yang hendak menerbitkan obligasi daerah harus menyatakan pendaftaran kepada Bapepam-LK sehingga dapat dicatat di bursa efek. Dengan terdaftarnya obligasi daerah dalam bursa efek maka peluang bagi keterlibatan banyak pihak dalam memberikan pinjaman akan semakin besar termasuk dari pihak asing.
Obligasi daerah memiliki keunggulan kompetitif yaitu merupakan instrumen investasi yang beresiko rendah sehingga dapat menarik investor yang menyukai risk averse. Selain itu, obligasi daerah tidak mengenakan pajak pendapatan bunga bagi investor sebagai insentif dari teori investasi risk linier atau teori yang berbanding sama. Penerbitan obligasi daerah ini juga tidak memerlukan biaya yang terlalu besar seperti pinjaman ke luar negeri atau menjual aset negara yang sedang populer sekarang ini. Selain itu, organisasi sektor publik akan terakuntabilitas karena mendapat pengawasan secara langsung dari seluruh stakeholder. Obligasi daerah merupakan sumber pembiayaan potensial untuk membiayai pengeluaran termasuk merestrukturisasi bagian dari privatisasi BUMD yang kondisinya sudah tidak layak.
Meskipun memiliki beberapa keunggulan, bukan berarti penerbitan obligasi daerah tidak memiliki tantangan dan hambatan. Tantangan dan hambatan yang dihadapi dalam penerbitan obligasi daerah adalah ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas. Di Indonesia, populasi sumber daya manusia mencapai angka tertinggi ke empat setelah China, India, dan Amerika Serikat. Akan tetapi, tidak semua sumber daya manusia di Indonesia memiliki skill yang mumpuni. Oleh karena itu, diperlukan perbaikan yang terus-menerus di bidang  ilmu pengetahuan. Selain itu, proyek yang harus dibiayai melalui penerbitan obligasi harus merupakan proyek yang dapat memberikan multiplier effect kepada pembangunan daerah secara keseluruhan. Tantangan dan hambatan lain dari penerbitan obligasi adalah tuntutan terhadap pemerintah daerah untuk jujur dan bertanggung jawab baik dalam pelaksanaan proyek yang dibiayai obligasi daerah maupun pembayaran obligasi yang akan jatuh tempo. Pemerintah daerah juga dituntut untuk memperjelas sistem birokrasi dan mengefisiensikan pemanfaatan waktu serta biaya.
Obligasi daerah yang diterapkan dalam sistem desentralisasi fiskal dapat dikatakan sebagai hal yang baru dan juga sebagai alternatif pembiayaan yang memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan pembiayan-pembiayaan yang lain. Obligasi daerah juga memiliki beberapa hambatan dan tantangan dalam pelaksanaannya. Dengan  demikian, perlu dilakukan tindakan menyeluruh dan kontinu agar tujuan dasar dari penerbitan obligasi daerah dapat tercapai. Melalui perbaikan yang konsisten maka reformasi sektor publik dalam mewujudkan Good Governance akan tercapai melalui desentralisasi fiskal, otonomi daerah dan obligasi daerah.

Siti Rodiah Hasana
115020300111066
Akuntansi 2011

0 comments:

Posting Komentar